Iman dan Rasio (Fides et Ratio)
- Krisharyanto Umbu Deta
- May 27, 2020
- 2 min read
“Pikirkanlah cara beriman yang sejati
dan imanilah bahwa pikiran adalah anugerah Tuhan.”

Kebanyakan dari kita saat ini nampaknya tidak memiliki Iman yang sejati. Iman nampaknya hanya berupa pengakuan dari mulut. Bahkan banyak orang tidak sadar bahwa iman yang ia miliki sebenarnya hanyalah sebatas ucapan. Ia tidak sadar bahwa pengakuan imannya tidak sejalan dengan perbuatannya. Dan ia meneruskan kehidupannya seperti tidak ada yang salah dan semuanya aman-aman saja. Malah ia merasa bahwa dirinya semakin hari semakin beriman. Padahal yang semakin beriman itu hanyalah ucapannya saja.
Hal ini terjadi kemungkinan karena ia belum paham mengenai arti iman yang sesungguhnya. Pikirnya, ketika ia mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan, ia rajin berdoa dan beribadah memuliakan Tuhan, itulah Iman. Padahal iman yang sesungguhnya adalah iman yang diaktualisasikan dalam perbuatan. Matius 15: 21-31 menekankan tentang pentingnya Iman dalam kehidupan kita yang bahkan mengalahkan budaya yang sudah dipegang berabad-abad. Tuhan menanggalkan segala perkara duniawi ketika melihat manusia. Yang Ia lihat hanyalah Iman semata.
Saya begitu tertarik untuk melihat fenomena yang bahkan mungkin saya sendiri mengalaminya. Fenomena dimana banyak orang yang melupakan iman karena terlalu asyik berpetualang dalam dunia intelektualnya. Iman menjadi hal yang tidak penting bahkan iman yang sebenarnya menuntut keyakinan malah diragukan dan dipertanyakan. Suatu kontradiksi yang lucu sebenarnya. Bagaimana mungkin kita meragukan sesuatu yang memang pada dasarnya menuntut keyakinan? Kita terlalu banyak bertanya, mengapa begini? Mengapa begitu? Mengapa demikian? Kita lupa bahwa kalau semuanya sudah tersingkap, apalagi yang mau kita yakini atau imani? Justru disanalah tempat iman seharusnya berada.
Tidak salah memang jika kita merefleksikan iman kita dengan rasio. Namun satu yang penting yaitu keseimbangan antara iman dan rasio. Fide et Ratio. Tidak baik jika hanya beriman tanpa berpikir, namun keliru juga jika hanya berpikir tanpa beriman. Namun disinilah saya melihat kesulitan manusia termasuk saya yaitu untuk berdiri ditengah-tengah, pada posisi seimbang. Kalau tidak cenderung ke kiri, kita ke kanan. Sulit sekali untuk berdiri pad posisi seimbang.
Perempuan Kanaan dalam narasi Matius menurut saya merupakan contoh sosok yang mampu menyeimbangkan iman dan rasionya. Di satu sisi kita dapat melihat keteguhan imannya yang begitu luar biasa bahkan diakui oleh Tuhan Yesus. Namun di sisi lain ia juga begitu cerdas menggunakan akal pikirannya. Ia mampu bercakap-cakap dengan Yesus dalam perumpamaan. Namun kecerdasannya tetap tidak melewati batas keseimbangan, itu terbukti dari bagaimana ia mempertahankan imannya ketika berhadapan dengan Yesus.
Jika ia hanya menggunakan rasionya, maka sudah barang tentu ia akan pergi meninggalkan Yesus ketika ia melihat bagaimana Yesus tidak mau meresponnya dan ketika memberi respon pun respon-Nya adalah respon penolakan. Namun perempuan ini tetap memohon dengan Iman. Dia memgang teguh imannya bahwa Yesus adalah Mesias yang dapat menyembuhkan anaknya. Jika hanya menggunakan rasio, dimana logisnya seorang manusia seperti Yesus dapat menyembuhkan anak yang kerasukan setan? Dimana logisnya seorang Yahudi mau menyembuhkan non-Yahudi?
Inilah yang menjadi persoalan saya dan banyak orang saat ini. Sangat sulit untuk menyeimbangkan iman dan rasio. Dan dengan semakin sekulernya dunia, rasio semakin mendominasi. Manusia menjadi semakin sulit untuk beriman.
“Pikirkanlah cara beriman yang sejati dan imanilah bahwa pikiran adalah anugerah Tuhan.”
Full version STUDI HERMENEUTIK MATIUS 15 : 21 - 31: https://krisharyantoud.wixsite.com/mysite/single-post/2017/08/19/STUDI-HERMENEUTIK-MATIUS-15-21---31
Comments